Selasa, 10 November 2009

CONFIGURATION POLITICS AND CHARACTER OF LAW

KONFIGURASI POLITIK DAN KARAKTER HUKUM
Oleh : Arif Rahman
Fungsi dan peranan hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik. Di Indonesia konfigurasi politik berkembang melalui tolak-tarik antara yang demokeratis dan otoritarian, sedangkan karakter produk hukum mengikutinya dalam tolak-tarik antara yang responsive dan yang konservatif. Sementara itu untuk membangun tata tertib hukum dan meminimalisir pengaruh politik, judicial review sebenarnya dapat dijadikan alat control yang baik, akan tetapi ketentuan-ketentuan dalam berbagai peraturan perundang-undangan ternyata mengandung pula kekacauan teoritis sehingga tidak dapat dioperasionalkan.
Hukum sebagai produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkanya. Hal tersebut merupakan sebuah fakta dimana setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dari kalangan para politisi.
Konsep demokratis dan otoriter (non-demokratis) diidentifikasikan berdasarkan tiga indikator yaitu system kepartaian dan peran badan perwalian, peran eksekutif dan kebasan pers, sedangkan konsep hukum responsive/otonom diidentifikasikan berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum.
1) Konfigurasi politik demokrasi adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperanya potensi rakyat secara maksimal untuk turut serta aktif menentukan kebijakan Negara. Dalam konteks ini Negara merupakan komite yang harus melaksanakan kehendak rakyat yang dirumuskan secara demokratis.
2) Konfigurasi politik otoriter merupakan konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan Negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan terartikulir secara proporsional.
3) Produk hukum responsive/otonom adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu maupun berbagai kelompok social di dalam mayarakat sehingga mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat.
4) Produk hukum konservatif/ortodoks adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatanya tidak mengandung partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh.
Pembentukan hukum dalam suatu system hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, pembentukanya dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam masyarakat Eropa Kontinental pembentukan hukum dilakukan oleh badan legeslatif. Sedangkan dalam masyarakat common law (Anglo saxion) kewenangan terpusat pada hakim.
Negara Indonesia sebagai Negara hukum, konsep hukumnya mengikuti Eropa Kontinental, dimana pembentukan hukumnya dilakukan oleh badan legislative (DPR). Landasan Juridis pemberian kewenangan kekuasaan pembentukan undang-undang kepada badan legislative didasarkan pada pertama, Pasal 20 UUD Negara RI Tahun 1945 ayat 1: “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Ayat 2 : “setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama” ayat 5 : “Dalam hal rancangan undang­undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang­undang tersebut disetujui rancangan undang­undang tersebut sah menjadi undang­undang dan wajib diundangkan”.
Landasan Juridis yang kedua, adalah UU No. 10 tahun 2004 tentang peraturan pembentukan perundang-undangan. Kewenanga DPR dalam pembentukan undang-undang diatur dalam BAB IV tentang “perencanaan penyusunan undang-undang” dan BAB V tentang “pembentukan peraturan perundang-undangan”.
Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia ternyata telah terjadi tolak tarik atau dinamika antara konfigurasi politik otoriter (nondemokeratis). Demokerasi dan Otoriterisme muncul secara bergantian dengan kecenderungan linier disetiap periode pada konfigurasii otoriter. Sejalan dengan hal itu, perkembangan karakter produk hukum memperlihatkan keterpengaruhannya dengan terjadi tolak tarik antara produk hukum yang berkarakter konservatif dengan kecenderungan linier yang sama.
Tolak tarik karakter hukum menunjukan bahwa karakter produk hukum senantiasa berkembang seirama dengan perkembangan konfigurasi politik. Meskipun kepastianya bervariasi, konfigurasi politik yang demokeratis senantiasa diikuti munculnya produk hukum yang responsive/otonom, sedang konfigurasi politik yang otoriter senantiasa disertai oleh munculnya hukum yang berkarakter konserfatif/ortodoks.
Sebagai contoh adalah pada masa periode 1945-1959 yang melahirkan UU tentang pemili yang bercorak nasional dan benar-benar direalisasikan, yaitu UU No. 7 tahun 1953. UU tersebut dicirikan sebagai UU yang sangat responsive karena benar-benar memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan wakil-wakilnya melalui pemilu yang sangat jujur, adil dan demokeratis. Periode 1959-1966 yang tampil denga konfigurasi politik otoriter tidak pernah diselanggarakan pemilu. Meskippun pemerintah menjanjikan akan mengajukan RUU Pemilu namun sampai berakhirnya periode demokerasi terpimpin tidak ada UU Pemilu yang dilahirkan. Contoh tersebut jelas menggambarkan konsep mengenai karakter produk hukum yang senantiasa berkembang seirama dengan perkembangan konfigurasi politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Copyright Text