Rabu, 23 Desember 2009

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Bab I Ketentuan Umum
Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang
Bab III Dasar Peradilan
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu : Penyelidik dan Penyidik
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kedua : Penyidik Pembantu
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Ketiga : Penuntut Umum
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kesatu :Penangkapan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kedua : Penahanan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Ketiga : Penggeledahan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Keempat : Penyitaan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kelima : Pemeriksaan Surat
Bab VI Tersangka dan Terdakwa
Bab VII Bantuan Hukum
Bab VIII Berita Acara
Bab IX Sumpah atau Janji
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kesatu : Praperadilan
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kedua : Pengadilan Negeri
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Ketiga : Pengadilan Tinggi
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Keempat : Mahkamah Agung
Bab XI Koneksitas
Bab XII Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kesatu : Ganti Kerugian
Bab XII Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kedua : Rehabilitasi
Bab XIII Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian
Bab XIV Penyidikan Bagian Kesatu : Penyelidikan
Bab XIV Penyidikan Bagian Kedua : Penyidikan
Bab XV Penuntutan
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kesatu : Panggilan dan Dakwaan
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kedua : Memutus Sengketa
Mengenai Wewenang Mengadili
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketiga : Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keempat : Pembuktian dan Putusan
Dalam Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kelima : Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keenam : Acara Pemeriksaan Cepat
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketujuh : Pelbagai Ketentuan
Bab XVII Upaya Hukum Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat Banding
Bab XVII Upaya Hukum Bagian Kedua : Pemeriksaan Untuk Kasasi
Bab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat Kasasi
Demi Kepentingan Hukum
Bab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kedua : Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan
Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap
Bab XIX Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Bab XX Pengawasan Dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Bab XXI Ketentuan Peralihan
Bab XXII Ketentuan Penutup
KUHAP LENGKAP SILAHKAN DOWNLOAD DI SINI
Read More... KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

Senin, 21 Desember 2009

Slicing the American Pie: Federalism and Personal Law

Slicing the American Pie: Federalism and
Personal Law
Jeffrey A. Redding
Abstract
In this piece, I draw upon Indian and other comparative legal experience to argue
that the present U.S. system of territorial federalism resonates deeply with those
systems of “personal law” that are commonly found around the world. Under a
personal law system, a state enforces different laws for each of the state’s different
religious or ethnic communities - which is one reason such systems have
been so heavily interrogated by U.N. and other international organisations for
their human rights implications. Similarly, as well, U.S. First Amendment jurisprudence
has frowned upon the carving out of religious-group exceptions to
generally-applicable law. That being said, the U.S. Supreme Court has also recently
given renewed emphasis to state sovereignty and other federal values. As
this piece argues, what results from this worship of federalism is a truly Americanstyle
personal law system, where territorial communities have taken the place of
other personal law systems’ religious and ethnic communal constituencies. This
being the case, I conclude by questioning recent innovations in American constitutional
jurisprudence which devalue religious pluralism, while simultaneously
elevating territorial communalism. more please download here
Read More... Slicing the American Pie: Federalism and Personal Law

The Right of Access to Justice: Judicial Discourse in Singapore and Malaysia

The Right of Access to Justice: Judicial
Discourse in Singapore and Malaysia
Gary K Y Chan
Abstract
This is an essay on judicial discourse in Singapore and Malaysia pertaining to the nature and
scope of the right of access to justice, including access to justice for the poor. We will examine
the statements and pronouncements by the Singapore and Malaysia judiciary in case precedents
and extra-judicial statements. Some of the issues explored include the legal status of this right
of access to justice (namely, whether it is a right enshrined in the constitution or merely a right
derived from the common law and whether it is qualified by economic and other interests) and the
associated rights of legal representation, legal aid and contingency fees.
KEYWORDS: access to justice, courts, Malaysia, Singapore
for download click here
Read More... The Right of Access to Justice: Judicial Discourse in Singapore and Malaysia

Download surah Yaasiin

Surat YaaSiin
mendengarkan Al-Qur'an ketika menyelesaikan tugas, membuat artikel, browsing, chating, and more adalah sesuatu yang menyejukkan, menambah semangat, membuat hati tenang ketika, ketika hati bimbang, sedang resah hal yang paling menghangatkan jiwa adalah membaca Al-Qur'an, jika belum bisa membacanya silahkan mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an silahkan download di sini
surat YaaSiin
Read More... Download surah Yaasiin

Sabtu, 19 Desember 2009

BUNGA RAMPAI Komisi Yudisial RI

Daft ar Isi
Prakata Ketua Komisi Yudisial
M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum. iii
Penghargaan dan Ucapan Terima Kasih xi
Daft ar Isi xiii
Bagian Kesatu
Reformasi Peradilan
1. Komisi Yudisial Dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. 1
2. Perubahan Bidang Politik dan Pengaruhnya
Terhadap Reformasi Peradilan 21
Arbab Paproeka, S.H.
3. Komisi Yudisial Pengawal Reformasi Pengadilan
Mendayung diantara Simpati dan Resistensi
Firmansyah Arifi n, S.H. 43
4. Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradialn
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. 65
5. Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding)
dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping)
Pada Era Reformasi dan Transformasi
M. Hatt a Ali, S.H., M.H. 83
6. Hakim Agung dan Penemuan Hukum (Rechtsvinding)
Pada Era Reformasi dan Transformasi Hukum
Prof. DR. Komariah Emong Sapardjaja, S.H. 95
7. Kontribusi Lembaga Kejaksaan
Dalam Mempercepat Reformasi Peradilan
M. Ali Zaidan, S.H., M.H. 107
8. Kontribusi Komisi Kepolisian Nasional
Dalam Mempercepat Reformasi Peradilan
A. Pandupraja, S.H., Sp.N., LL.M. 135
xiv
9. Peran Serta Elemen Masyarakat Sipil Dalam Mendorong
Proses Reformasi Peradilan dan Penegakan Hukum
Prof. Dr. M. Din Syamsuddin 155
10. Reformasi Pendidikan Hukum Untuk Menghasilkan
SDM Penegak Hukum Yang Kompeten dan Profesional
Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. 165
Bagian Kedua
Penguatan Kelembagaan
1. Komisi Yudisial Yang dicita-citakan Oleh Masyarakat
dan Pencari Keadilan
Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA. 185
2. Sinkronisasi Sistem Perundang-undangan Lembaga
Peradilan Dalam Menciptakan Peradilan Yang Lebih Baik
Trimedya Panjaitan, S.H. 197
3. DPR dan Perubahan Atas Undang-Undang Komisi Yudisial
F.X. Soekarno, S.H. 221
4. Gerak dan Langkah Nyata Komisi Yudisial
Dalam Mengemban Amanat UUD 1945
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Dr. John Pieris, S.H. 249
5. Pentingnya Peran Komisi Yudisial Berdasarkan
Pendekatan Geopolitik dan Geostrategi Indonesia
Prof. DR. Ermaya Suradinata, S.H., M.S., M.H. 259
6. Memulihkan Kewenangan Komisi Yudisial
Dengan Melibatkan Kemitraan (Jejaring) di Daerah
Dr. Marwan Mas, S.H., M.H. 275
7. Urgensi dan Fungsi Pembentukan
Jejaring di Daerah Oleh Komisi Yudisial
Asep Rahmat Fajar, S.H. 287
8. Urgensi Pembuatan Data Base Hakim
Sebagai Media Penunjang Pelaksanaan Wewenang dan
Tugas Komisi Yudisial
Ir. Andi Djalal Latief, MS. 301
Redaksi 319
artikel lengkap silahkan download
Read More... BUNGA RAMPAI Komisi Yudisial RI

Selasa, 15 Desember 2009

PUTUSAN

Contoh Putusan
PUTUSAN
Nomor 25/PUU-VII/2009
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat
pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh:
[1.2] TEDJO BAWONO, warga negara Indonesia, tempat/tanggal lahir Kediri
7 Agustus 1946, agama Budha, pekerjaan Wiraswasta, alamat di Jalan
Kusuma Bangsa Nomor 72, Surabaya. Telepon (031) 5326176;
selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------ Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan dari Pemohon;
Mendengar keterangan dari Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti, dan;
Mendengar keterangan Ahli dari Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan Pengujian
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan
Mahkamah) pada hari Selasa 31 Maret 2009 dan telah diregistrasi pada hari Senin
2
tanggal 6 April 2009 dengan Nomor 25/PUU-VII/2009, yang telah diperbaiki dan
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 Mei 2009, yang menguraikan
hal-hal sebagai berikut:
Silahkan klik untuk Download
Read More... PUTUSAN

IMPECHMENET

PENGANTAR
oleh : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Banyak pihak yang memahami bahwa impeachment merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara lain dari jabatannya. Dalam praktek impeachment yang pernah dilakukan di berbagai negara, hanya ada beberapa proses impeachment yang berakhir dengan berhentinya seorang pimpinan negara. Salah satunya adalah Presiden Lithuania, Rolandas Paskas, dimana proses impeachment itu berakhir pada berhentinya Paskas pada tanggal 6 April 2004. Di Amerika pernah terjadi beberapa kali proses impeachment terhadap Presiden misalnya pada Andrew Johnson, Richard Nixon, dan terakhir pada William Clinton. Namun, kesemua tuduhan impeachment yang dilakukan di Amerika itu tidak berakhir pada berhentinya Presiden. Pada kasus Richard Nixon, Nixon mengundurkan diri pada saat proses impeachment berlangsung sehingga belum sampai pada putusan dari proses impeachment itu.
Setidaknya ada 3 hal yang menarik dalam melakukan pengkajian mengenai impeachment. Pertama adalah mengenai objek impeachment, kedua mengenai alasan-alasan impeachment serta terakhir mengenai mekanisme impeachment. Masing-masing negara yang mengadopsi ketentuan mengenai impeachment mengatur secara berbeda-beda mengenai hal-hal tersebut, sesuai dengan pengaturannya dalam konstitusi.
Objek dari tuduhan impeachment tidak hanya terbatas pada pemimpin negara, seperti Presiden atau Perdana Menteri, namun juga pada pejabat tinggi negara. Objek dari impeachment diberbagai negara berbeda-beda dan terkadang memasukkan pejabat tinggi negara seperti hakim atau ketua serta para anggota lembaga negara menjadi objek impeachment. Namun objek impeachment yang menyangkut pimpinan negara akan lebih banyak menyedot perhatian publik. Seiring dengan Perubahan UUD 1945, Indonesia juga mengadopsi mekanisme impeachment yang objeknya hanya menyangkut pada Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Alasan-alasan impeachment pada masing-masing negara juga berbeda-beda. Selain itu, perdebatan mengenai penafsiran dari alasan impeachment juga mewarnai proses impeachment atau menjadi wacana eksplorasi pengembangan teori dari sisi akademis. Contohnya adalah batasan dari alasan misdeamenor dan high crime yang dapat digunakan sebagai dasar impeachment di Amerika Serikat. Di Indonesia, kedua alasan tersebut diadopsi dan diterjemahkan dengan “perbuatan tercela” dan “tindak pidana berat lainnya”. Batasan dari misdemeanor dan high crime di Amerika sendiri masih menjadi perdebatan. Sedangkan definisi atas alasan impeachment tersebut di Indonesia dijabarkan dalam Pasal 10 ayat (3) UU MK. Yang disebut “tindak pidana berat lainnya” adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Sedangkan “perbuatan tercela” adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Meski telah disebutkan dan coba didefinisikan
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, kedua alasan impeachment tersebut masih memancing perdebatan wacana secara akademis yang dapat digali lebih dalam lagi.
Lebih lengkapnya silahkan download di sini
Read More... IMPECHMENET

MEMBUAT THEME HP SENDIRI

Membuat theme hp sendiri merupakan sedikit kreasi dari anda semua yang notabene bosen dengan theme yang biasa-biasa saja. Kita jauh lebih puas dengan membuat theme hp sendiri karena itu merupakan karya pribadi. Selain itu juga bisa buat masukin ke web anda jika hasil karya anda pengen di lihat banyak pasang mata. untuk lebih jelasnya silahkan download software_nya di sini. setelah di download slahkan di instal, yaaaa seprti biasa kita menginstal aplikasi dalam komputer. silahkan download di sini
Read More... MEMBUAT THEME HP SENDIRI

High Crimes and Misdemeanors

"'High Crimes and Misdemeanors'":

Recovering the Intentions of the Founders



EXECUTIVE SUMMARY



The most important question in the constitutional process of impeachment is the meaning of "High Crimes and Misdemeanors" as that phrase was understood by those who framed and ratified the Constitution. The grant to the House of Representatives of "the sole power of impeachment" was not given without restraint. The words "High Crimes and Misdemeanors" were not mindlessly crafted or chosen because it was thought they would be open to endless manipulation. Rather, the phrase was a well received term of legal art, an expression chosen by the founders because they believed it was one of "those expressions that were most easy to be understood and least equivocal in their meaning."

What was clear to the founders has been to later generations a matter of some confusion, nowhere better expressed than by Gerald Ford when he insisted that "an impeachable offence is whatever a majority of the House of Representatives considers it to be at a given moment in history." This is simply wrong. To adopt such an understanding, as Joseph Story once said, would be to grant Congress an "arbitrary discretion" that would be "so incompatible with the genius of our institutions," that no one should ever "countenance so absolute a despotism of opinion and practice, which might make that a crime at one time, or in one person, which would be deemed innocent at another time." Impeachments are not to be carried out for any reason that may occur to the House of Representatives.

The use of the word "high" in "High Crimes and Misdemeanors" was used to emphasize that it was a crime or misdemeanor against the commonwealth. The objects of impeachment, Alexander Hamilton wrote, "are those offences which proceed from the misconduct of public men, or in other words from the abuse or violation of some public trust. They are of a nature which may with peculiar propriety be denominated political, as they relate chiefly to the injuries done immediately to the society itself."

Because such political offences are of "so various and complex a character" they do not admit of a simple list. To determine if particular political abuses rise to the level of "High Crimes and Misdemeanors" recourse must be had to the great common law tradition which the founders understood to be "the great basis of our jurisprudence." In the view of such men as Story and John Marshall, the common law was an indispensable "guide, and check, and expositor in the administration of the rights, duties, and jurisdiction conferred by the Constitution and law." A survey of the common law authorities to whom the founders looked for guidance, such as Sir William Blackstone, indicates that such "crimes against public justice," as "obstructing the execution of lawful process" and "willful and corrupt perjury" would in all likelihood have been understood by the founders as constituting "High Crimes and Misdemeanors" as used in the Constitution.

Further, the record fails to support the claim that impeachable offences are limited to only those abuses that occur in the official exercise of executive power. As seen in the authorities, impeachable offences, in both English and American history, have been understood to extend to "personal misconduct," violation of . . . trust," and "immorality and imbecility," among other charges. Read More

Read More... High Crimes and Misdemeanors

Refleksi Hukum

FUNGSI HUKUM
DAN ASAS-ASAS DASAR NEGARA HUKUM
( Drs. Abd. Choliq, S.H., M.H. )
A. PENDAHULUAN
Yang namanya fungsi itu dimana-mana dan dalam konteks apapun sangat
menentukan segalanya, dalam konteks rumah tangga kalau suami atau isteri sudah
tidak dapat menjalankan fungsinya akan hancur, manusia diberi akal oleh Yang Maha
Kuasa namun kalau akal itu tidak berfungsi, maka manusia itu akan mendapatkan
gelar manusia gila, peralatan di perusahaan industri kalau tidak berfungsi akan macet
perusahaan industri tersebut, begitu pula hukum jika tidak berfungsi hukum, maka
akan rusaklah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan demikian betapa
pentingnya fungsi hukum.
B. FUNGSI HUKUM
Diantara fungsi-fungsi hukum, maka ada dua fungsi hukum menurut
Bernard, yaitu :
1. Hukum mengemban fungsi ekspresif yaitu mengungkapkan pandangan hidup,
nilai-nilai budaya dan nilai keadilan.
2. Hukum mengemban fungsi instrumental yaitu sarana untuk menciptakan dan
memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk melestarikan
nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan, sarana pendidikan serta pengadaban
masyarakat dan sarana pembaharuan masyarakat (mendorong, mengkanalisasi dan
mengesahkan perubahan masyarakat) ( Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang
Struktur Ilmu Hukum, 2000, Bandung, Mandar maju, Cet. II, hal. 189).
Artikel Lengkapnya silahkan Download di sini
Read More... Refleksi Hukum

Sabtu, 12 Desember 2009

HADITS DIGITAL

Hadits digital Silahkan download aplikasinya di sini
Read More... HADITS DIGITAL

HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA PASCA PERUBAHAN UUD 1945

HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA

PASCA PERUBAHAN UUD 1945[1]

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.[2]

UUD 1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan seluruh rakyat Indonesia. Keberlakuan UUD 1945 berlandaskan pada legitimasi kedaulatan rakyat sehingga UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, hasil-hasil perubahan UUD 1945 berimplikasi terhadap seluruh lapangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi perubahan tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan.[3]

UUD 1945 memuat baik cita-cita, dasar-dasar, serta prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Untuk mencapai cita-cita tersebut, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal itu karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, konstitusi budaya, dan konstitusi sosial yang harus menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market). Artikel Lengkap Silahkan Download di Sini



[1] Bahan ceramah pada Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat I Angkatan XVII Lembaga Administrasi Negara. Jakarta, 30 Oktober 2008.

[2] Hakim Konstitusi.

[3] Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003, hal. 1.

Read More... HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA PASCA PERUBAHAN UUD 1945

MAHKAMAH KONSTITUSI

MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
SISTEM KETATANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA

Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.


A. PERUBAHAN UUD 1945

Reformasi Konstitusi
Sejak datangnya era reformasi yang ditandai dengan peristiwa berhentinya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 telah terbuka peluang bagi dilakukannya reformasi konstitusi setelah mengalami fase “sakralisasi UUD 1945” selama pemerintahan Orde Baru. Dalam perkembangannya reformasi konstitusi menjadi salah satu tuntutan berbagai kalangan, termasuk para pakar/akademisi hukum tata negara dan kelompok mahasiswa, yang kemudian diwujudkan oleh MPR melalui empat kali perubahan (1999-2002).
Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan berdasar pandangan berbagai kalangan bahwa UUD 1945 tidak lagi cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Buruknya penyelenggaraan negara pada beberapa tahun terakhir pemerintahan Presiden Soeharto yang antara lain ditandai dengan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme, menjadi bukti tak terbantahkan mengenai hal ini.
Beberapa aspek yang terdapat dalam UUD 1945 yang menyebabkan konstitusi Indonesia ini tidak cukup mampu mendukung penyelenggaraan negara yang demokratis dan menegakkan hak asasi manusia, antara lain sebagai berikut.
Artikel Lengkap Silahkan Download di sini
Read More... MAHKAMAH KONSTITUSI

Download Aplikasi Firefox

Read More... Download Aplikasi Firefox

GAGASAN DASAR TENTANG KONSTITUSI DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Dalam perkembangan kehidupan bernegara, konstitusi menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan materi muatan konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.

Kajian tentang konstitusi semakin penting dalam negara-negara modern saat ini yang pada umumnya menyatakan diri sebagai negara konstitusional, baik demokrasi konstitusional maupun monarki konstitusional. Konstitusi tidak lagi sekedar istilah untuk menyebut suatu dokumen hukum, tetapi menjadi suatu paham tentang prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara (konstitusionalisme) yang dianut hampir di semua negara, termasuk negara-negara yang tidak memiliki konstitusi sebagai dokumen hukum tertulis serta yang menempatkan supremasi kekuasaan pada parlemen sebagai wujud kedaulatan rakyat.[1]

Untuk memahami konstitusi dan supremasi konstitusi dapat dilakukan dengan melacak akar sejarah peristilahan dan pengertiannya. Selain itu, supremasi konstitusi juga dapat dipahami dari sisi legitimasi pembentukan serta tujuan dan hakekatnya.

artikel lengkap silahkan download di sini

[1] Secara garis besar perwujudan kedaulatan rakyat dalam kehidupan bernegara dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu dalam lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, dan dalam bentuk konstitusi sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi. Negara-negara yang menganut perwujudan kedaulatan rakyat dalam parlemen mengakibatkan dianutnya prinsip supremasi parlemen. Konstitusi dalam negara tersebut dapat dibuat atau diubah dengan produk hukum parlemen (legislative act). Sedangkan negara yang menganut perwujudan kedaulatan rakyat pada konstitusi, menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Konsekuensinya, hukum yang dibuat oleh parlemen tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.

Read More... GAGASAN DASAR TENTANG KONSTITUSI DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Konstitusi dan Konstitusionalisme

Konstitusi dan Konstitusionalisme
A. Gagasan Konstitusionalisme klasi download di sini
B. Konstitusionalisme dan Gagasan Madinah download di sini
C. Konstitusi dan Konstitusionalisme Modern download di sini
Read More... Konstitusi dan Konstitusionalisme

PEMBANGUNAN HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

PEMBANGUNAN HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM
DI INDONESIA

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.



Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the foun¬ding fathers sebagai suatu Negara Hukum (Rechtsstaat/ The Rule of Law). UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Namun, bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara kom-prehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral. Oleh karena itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak dipahami sebagai suatu kon¬sep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum. Dalam hukum se¬ba¬gai suatu kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelemba¬gaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (ele¬men instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hu¬kum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau pene¬rapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan per¬adil¬an atas pelanggaran hukum (law adjudicating). Biasanya, kegiatan terakhir lazim juga disebut sebagai kegiatan pene¬gakan hukum dalam arti yang sempit (law enforcement) yang di bidang pidana melibatkan peran kepolisian, kejaksa¬an, advokat, dan kehakiman atau di bidang perdata melibat¬kan peran advokat (pengacara) dan kehakiman. Selain itu, ada pula kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu: (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hukum (law infor¬mation management) sebagai kegiatan penunjang. Ke¬lima kegiatan itu biasanya dibagi ke dalam tiga wilayah fung¬si kekuasaan negara, yaitu (i) fungsi legislasi dan regulasi, (ii) fungsi eksekutif dan administratif, serta (iii) fungsi yudikatif atau judisial . Organ legislatif adalah lembaga parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi pemerintahan, sedangkan organ judikatif adalah birokrasi aparatur penegakan hukum yang mencakup kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kese¬mua itu harus pula dihubungkan dengan hirarkinya masing-masing mulai dari organ tertinggi sampai terendah, yaitu yang terkait dengan aparatur tingkat pusat, aparatur tingkat provinsi, dan aparatur tingkat kabupaten/kota. lebih lengkapnya silahkan download di sini
Read More... PEMBANGUNAN HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

CONSTITUTIONAL AND LEGAL PROCEDURES STATE ADAT

CONSTITUTIONAL AND LEGAL PROCEDURES STATE ADAT
By: Jimly Asshiddiqie



Constitution simply by Brian Thompson can be interpreted as a document that contains the rules for running an organization. Organizations referred gam ¬ variety and complexity of its structure. In the draft constitution that was also included understanding ¬ written rules, customs and conventions to ¬ negaraan (constitution) that determined ¬ nen kedu ¬ structure and position the state organs, to arrange ¬ inter state organs, the and manage relationships organs of the state with citizens.

The basic existence of a constitution is a general agreement ¬ ing or consent (consensus) among mayo ¬ majority of the people of the idealized buildings with regard to the state. Organization is required by the country's political citizens to their common interests can be protected or promoted through the establishment and use of a mechanism called the state. ¬ keyword is general consensus or agreement.
more complete article please download here
Read More... CONSTITUTIONAL AND LEGAL PROCEDURES STATE ADAT

Konstitusi dan HAM

KONSTITUSI DAN HAK ASASI MANUSIA[1]

Oleh: Jimly Asshiddiqie[2]

Dalam perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan materi muatan konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.

A. Perkembangan Pengertian Konstitusi

Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian kita sekarang ten­tang konstitusi, yaitu dalam per­kataan Yunani Kuno poli­teia dan perkataan bahasa Latin constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua perkataan poli­teia dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitu­sio­nalisme diekspresikan oleh umat manusia. Kata politeia dari kebu­daya­an Yunani dapat disebut yang paling tua usianya. Pengertiannya secara luas mencakup

all the innumerable characteristics which determine that state’s peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as well as matters govern­mental in our narrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word ‘constitution’ when we speak gene­rally of a man’s constitution or of the constitu­tion of matter.[3]

Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal ada­nya istilah yang mencerminkan pengertian ka­ta jus ataupun constitutio sebagaimana dalam tra­disi Romawi yang datang kemudian.[4] Dalam ke­se­luruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution adalah seperti apa yang kita maksudkan sekarang ini. Perkata­an consti­tution di zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), dalam bentuk bahasa latinnya, mula-mula digunakan se­ba­gai istilah teknis untuk menyebut the acts of legisla­tion by the Empe­ror.[5] Bersamaan dengan banyak aspek dari hukum Romawi yang dipinjam ke dalam sistem pemikiran hukum di kalangan gereja, maka istilah teknis constitution juga dipinjam untuk menyebut peraturan-peraturan eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja atau­pun untuk beberapa peraturan eklesiastik yang ber­laku di gereja-gereja tertentu (ecclesiastical province). Oleh karena itu, kitab-kitab Hukum Romawi dan Hukum Ge­reja (Kano­nik) itulah yang sering dianggap sebagai sum­ber rujukan atau referensi paling awal mengenai peng­gu­na­an perkataan constitution dalam sejarah.

makalah lengkap silahkan download di sini



[1] Bahan disampaikan pada Lecture Peringatan 10 Tahun KontraS. Jakarta, 26 Maret 2008.

[2] Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi

[3] Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966), hal. 26. Seperti dikata­kan oleh Sir Paul Vinogradoff, “The Greeks recognized a close analogy between the organization of the State and the organism of the individual human being. They thought that the two elements of body and mind, the former guided and governed by the later, had a parallel in two constitutive elements of the State, the rulers and the ruled”.

[4] Analogi di antara organisasi negara (state organization) dan organisme manusia (human organism) ini, seperti dikatakan oleh M.L. Newman dalam The Politics of Aristotle, merupakan the central inquiry of political science di dalam sejarah Yunani Kuno.

[5] Ibid., hal. 23.

Read More... Konstitusi dan HAM

About

Copyright Text